Kata etika berasal dari
kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat
istiadat (kebiasaan). Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep
yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan
yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.
Menurut Martin (1993),
etika didefinisikan sebagai “the discpline which can act as the performance
index or reference for our control system”. Dengan demikian, etika akan
memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia
didalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan
dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan
(code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan
prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa
difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara
logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan
demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”,
karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan
kelompok social itu sendiri.
A. PENTINGNYA ETIKA
Dalam pergaulan hidup
bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di
perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul.
Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal
dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud
pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang
terlibat agara mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan
kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai
dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi
umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita.
Menurut para ahli maka
etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan
antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
Ada dua macam etika yang
harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan
buruknya prilaku manusia
:
1. ETIKA DESKRIPTIF, yaitu etika yang
berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan
apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai.
Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan
tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.
2. ETIKA NORMATIF, yaitu etika yang
berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya
dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika
normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka
tindakan yang akan diputuskan.
Etika secara umum dapat
dibagi menjadi :
a. ETIKA UMUM, berbicara mengenai
kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana
manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral
dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam
menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat dianalogkan dengan
ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.
b. ETIKA KHUSUS, merupakan
penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang
kehidupan yang khusus.
Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana saya mengambil
keputusan dan bertindak
dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya
lakukan, yang didasari
oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu dapat
juga berwujud : Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam
bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang
memungkinkan manusia bertindak etis : cara bagaimana manusia mengambil suatu
keputusan atau tidanakn, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada
dibaliknya.
ETIKA KHUSUS dibagi lagi
menjadi dua bagian :
a. Etika individual, yaitu menyangkut
kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
b. Etika sosial, yaitu berbicara mengenai
kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.
Perlu diperhatikan bahwa
etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain dengan
tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat
manusia saling berkaitan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan
manusia baik secara langsung maupun secara kelembagaan (keluarga, masyarakat,
negara), sikap kritis terhadpa pandangan-pandangan dunia dan idiologi-idiologi
maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan hidup.
B . Perkembangan Etika
Bisnis di Indonesia.
Etika bisnis dapat
dikatakan baru berkembang dalam satu dua dasawarsa terakhir ini. Jika
dibandingkan dengan etika khusus lainnya sebagai cabang etika terapan, seperti
etika politik, dan kedokteran, etika bisnis dirasakan masih sangat baru. Dengan
semakin gencarnya pembicaraan mengenai etika bisnis di masyarakat bersama
dengan hidupnya kegiatan bisnis di negera kita, mulai disadari bahwa etika
bisnis perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar, khususnya dalam kerangka perilaku
bisnis di Indonesia.
Disadari bahwa tuntutan
dunia bisnis dan manajemen dewasa ini semakin tinggi dan keras yang
mensyaratkan sikap dan pola kerja yang semakin profesional. Persaingan yang
makin ketat juga juga mengharuskan pebisnis dan manajer untuk sungguh-sungguh
menjadi profesional jika mereka ingin meraih sukses. Namunyang masih sangat
memprihatinkan di Indonesia adalah bahwa profesi bisnis belum dianggap sebagai
profesi yang luhur. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat yang menganggap
bahwa bisnis adalah usaha yang kotor. Itulah sebabnya bisnis selalu mendapatkan
konotasi jelek, sebagai kerjanya orang-orang kotor yang disimbolkan lintah
darat yaitu orang yang mengeruk keuntungan secara tidak halal menghisap darah
orang lain. Kesan dan sikap masyarakat seperti ini sebenarnya disebabkan oleh
orang-orang bisnis itu sendiri yang memperlihatkan citra negatif tentang bisnis
di masyarakat. Banyak pebisnis yang menawarkan barang tidak bermutu dengan
harga tinggi, mengakibatkan citra bisnis menjadi jelek. Selain itu juga banyak
pebisnis yang melakukan kolusi dan nepotisme dalam memenangkan lelang,
penyuapan kepada para pejabat, pengurangan mutu untuk medapatkan laba maksimal,
yang semuanya itu merupakan bisnis a-moral dan tidak etis dan
menjatuhkan citra bisnis di Indonesia.
Rusaknya citra bisnis di
Indonesia tersebut juga diakibatkan adanya pandangan tentang bisnis di
masyarakat kita, yaitu pandangan praktis-realistis dan bukan pandangan ideal.
Pandangan praktis-realistis adalah pandangan yang bertumpu pada kenyataan yang
berlaku umum dewasa ini. Pandangan ini melihat bisnis sebagai suatu kegiatan di
antara manusia untuk memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk
memperoleh keuntungan. Pada pandangan ini ditegaskan secara jelas bahwa tujuan
dari bisnis adalah mencari laba. Bisnis adalah kegiatan profit making, bahkan laba
dianggap sebagai satu-satunya tujuan pokok bisnis. Dasar pemikiran mereka
adalah keuntungan itu sah untuk menunjang kegiatan bisnis itu. Tanpa keuntungan
bisnis tidak mungkin berjalan. Friedman dalam De George (1986) menyatakan bahwa
dalam kenyataan keuntunganlah yang menjadi satu-satunya motivasi dasar orang
berbisnis. Karena orang berbisnis inginmencari keuntungan, maka orang yang
tidak mau mencari keuntungan bukan tempatnya di bidang bisnis. Inilah suatu
kenyataan yang tidak bisa disangkal. Lain halnya dengan pandangan ideal, yaitu
melakukan kegiatan bisnis karena dilatarbelakangi oleh idealisme yang luhur.
Menurut pandangan ini
bisnis adalah suatu kegiatan di antara manusia yang menyangkut memproduksi,
menjual dan membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dasar
pemikiran mereka adalah pertukaran timbal balik secara fair, di antara pihak-pihak
yang teribat. Maka yang ingin ditegakkan adalah keadilan kumulatif dan keadilan
tukarmenukar yang sebanding. Konosuke Matsushita dalam Lee dan Yoshihara (1997)
yang menyatakan bahwa tujuan bisnis sebenarnya bukanlah mencari keuntungan,
melainkan untuk melayani masyarakat. Sedangkan keuntungan adalah simbol
kepercayaan masyarakat atas kegiatan bisnis yang kita lakukan. Fokus perhatian
bisnis adalah memberi pelayanan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kita
akan memperoleh keuntungan dari pelayanan tersebut. Pandangan bisnis ideal
semacam ini, bisnis yang baik selalu memiliki misi tertentu yang luhur dan
tidak sekedar mencari keuntungan. Misi itu adalah meningkatkan standar hidup
masyarakat, dan membuat hisup manusia menjadi lebih manusiawi melalui pemenuhan
kebutuhan secara etis.
Melihat pandangan bisnis
di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa etika bisnis di Indonesia masih jelek.
Citra jelek tersebut disebabkan oleh pandangan pertama yang melihat bisnis
hanya sebagai sekedar mencari keuntungan. Tentu saja mencari keuntungan sebagaimana
dikatakan di atas. Hanya saja sikap yang timbul dari kesadaran bahwa bisnis
hanya mencari keuntungan telah mengakibatkan perilaku yang menjurus
menghalalkan segala cara demi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa
mengindahkan nilai-nilai manusiawi lainnya seperti adanya persaingan tidak
sehat, monopoli, kecurangan, pemalsuan, eksploitasi buruh dan sebagainya.
Keuntungan adalah hal yang baik dan perlu untuk menunjang kegiatan bisnis
selanjutnya, bahkan tanpa keuntungan, misi luhur bisnis pun tidak akan
tercapai. Persoalan dihadapi di sini adalah bagaimana mengusahakan agar
keuntungan yang diperoleh itu wajar-wajar saja, karena yang utama adalah
melayani dan memenuhi kebutuhan masyarakat dengan tidak merugikan pihakpihak
yang terkait dalam bisnis ini. Perkembangan etika bisnis di Indonesia yang
demikian itu, nampaknya hingga sekarang masih jauh dari harapan.
C. Dampak Negatif Akibat
Implementasi Bisnis yang Tidak Etis di Indonesia
Pada dunia bisnis, upaya
untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya merupakan hal yang wajar.
Bahkan upaya ini akan menyemarakkan keseluruhan sistem perekonomian nasional,
dalam arti keuntungan yang sebesarbesarnya didapatkan dengan melaksanakan
berbagai kegiatan yang akan mempengaruhi perekonomian. Namun sayangnya dalam
kenyataan upaya mendapatkan keuntungan tersebut cenderung mengabaikan etika
bisnis.
Keuntungan yang besar
diperoleh dengan mengorbankan faktor-faktor bisnis lainnya. Perilaku bisnis
yang tidak etis untuk mendapatkan keuntungan maksimum akan berdampak sebagai
berikut.
1. Upah dan
kesejahteraan karyawan menurun. Seperti diketahui bahwa salah satu ukuran yang
digunakan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya adalah memaksimumkan
hasil penjualan dan meminimumkan seluruh biaya perusahaan. Upaya meminimumkan
biaya perusahaan antara lain dengan menekan upah tenaga kerja. Akibatnya
kesejahteraan karyawan menjadi rendah dan tidak sesuai dengan kontribusi kerja
yang diberikan karyawan kepada perusahaan. Keadaan tersebut telah melanggar
etika bisnis.
2. Mematikan usaha
pemasok. Para pengusaha seringkali menekan harga faktor input yang diperoleh
dari para pemasok. Selain itu pengusaha cenderung menunda pembayaran. Hal ini
akan berakibat mematikan usaha dan mata pencaharian para pemasok. Bahkan
beberapa perusahaan besar berupaya mendirikan perusahaan baru atau mengakuisisi
perusahaan yang telah ada untuk menggantikan fungsi para pemasok. Keadaan
tersebut melanggar etika bisnis, karena etika yang benar adalah mendorong
perkembangan para pemasok yang dalam jangka panjang akan menguntungkan
perusahaan yang
bersangkutan.
3. Merusak lingkungan.
Untuk memaksimumkan keuntungan, masih banyak pengusaha yang cenderung
menggunakan input yang yang merusak lingkungan alam. Terutama hal ini terjadi
pada sektor usaha dan industri yang berorientasi pada bahan baku dari alam.
Selain itu juga proses produksi yang menghasilkan limbah industri yang
mencemari lingkungan. Ambisi para pengusaha ini melanggar etika bisnis karena
keuntungan yang didapatkan diperoleh dengan mengorbankan lingkungan hidup. Hal
ini berarti bahwa keuntungan yang diperolehnya didapat atas korban dari
masyarakat lainnya.
4. Merugikan konsumen.
Akibat ambisi pengusaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya,
masih banyak pengusaha yang merugikan konsumen, antara lain dengan menurunkan
kualitas barang dan jasa yang dihasilkan di bawah standar, pengiriman barang
yang lambat, dan menaikkan harga barang di atas norma-norma kewajaran. Di dalam
etika bisnis hal-hal tersebut melanggar moralitas usaha. Selain itu,
penyampaian output hasil usaha kepada para konsumen sering dilaksanakan melalui
pedagang perantara atau pengecer untuk memperluas jaringan distribusi. Tindakan
akuisisi jaringan pengecer (retailer) untuk kepentingan produsen akan
membunuh pedagang eceran dan hal ini melanggar etika bisnis.
5. Membohongi bank dan
lembaga pembiayaan lain. Masih banyak para konsultan yang dalam membuat appraisal cenderung menyatakan feaseable, walaupun sebenarnya
tidak demikian. Masih banyak penilai yang menaikkan nilai aset yang bertujuan
untuk mendapatkan lebih banyak kredit. Masih banyak para akuntan yang tidak
jujur. Dengan hal-hal tersebut, maka bank dengan tanpa penelitian seksama memberikan
kredit melebihi dari yang seharusnya. Hal inipun merupakan tindakan perusahaan
yang melanggar etika bisnis.
Hal-hal di atas
merupakan contoh kegiatan yang cenderung melanggar etika bisnis . namun
demikian, pada saat ini tidak boleh pesimis dengan kemampuan etika dan moral
sebagian pengusaha kita yang berambisi untuk bisnis yang halal dan berkah.
Mereka sebagai pengusaha yang patriotik mengajak dan memperingatkan para
pengusaha lainnya untuk selalu berlaku etis dan moralis. Asosiasi pengusaha
seperti KADIN dapat menjadi pendorong ke arah pelaksanaan etika dan moral
usahawan yang lebih baik untuk itu perlu adanya reorientasi baru di mana para
pimpinan harus memahami etika dan moral bisnis yang memadai.
Perkembangan
Terakhir dalam Etika bisnis dan profesi
Dalam
pandangan saya, pengertian etik tersebut sudah melewati empat tahap atau fase
perkembangan generasi pengertian, yaitu
1.
fase pengertian teologis (etika teologis)
2.
fase pengertian ontologis (etika ontologis)
3.
fase pengertian positivis (etika positivist)
4.
fase pengertian fungsional (etika fungsional).”
1.Etika
Teologis
Pada
perkembangan generasi pengertian pertama, semua sistem etika berasal dari
sistem ajaran agama.Semua agama mempunyai ajaran-ajarannya sendiri-sendiri
tentang nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang baik dan buruk sebagai pegangan
hidup bagi para penganutnya.Karena itu, ajaran etika menyangkut pesan-pesan
utama misi keagamaan semua agama, dan semua tokoh agama atau ulama, pendeta,
rahib, monk, dan semua pemimpin agama akrab dengan ajaran etika itu.Semua rumah
ibadah diisi dengan khutbah-khutbah tentang ajaran moral dan etika keagamaan
masing-masing.
Bagi
agama-agama yang mempunyai kitab suci, maka materi utama kitab-kitab suci itu
juga adalah soal-soal yang berkaitan dengan etika.Karena itu, perbincangan
mengenai etika seringkali memang tidak dapat dilepas dari ajaran-ajaran agama.
Bahkan dalam Islam dikatakan oleh nabi Muhammad saw bahwa “Tidaklah aku diutus
menjadi Rasul kecuali untuk tujuan memperbaiki akhlaq manusia”. Inilah misi
utama kenabian Muhammad saw.
2.Etika
Ontologis
Dalam
perkembangan kedua, sistem etika itu lama kelamaan juga dijadikan oleh para
filosof dan agamawan sebagai objek kajian ilmiah.Karena filsafat manusia sangat
berkembang pembahasannya mengenai soal-soal etika dan perilaku manusia
ini.Karena itu, pada tingkat perkembangan pengertian yang kedua, etika itu
dapat dikatakan dilihat sebagai objek kajian ilmiah, objek kajian
filsafat.Inilah yang saya namakan sebagai tahap perkembangan yang bersifat
ontologis.Etika yang semula hanya dilihat sebagai doktrin-doktrin ajaran agama,
dikembangkan menjadi ‘ethics’ dalam pengertian sebagai ilmu yang mempelajari
sistem ajaran moral.
3.Etika
Positivist
Dalam
perkembangan selanjutnya, setidaknya dimulai pada permulaan abad ke 20, orang
mulai berpikir bahwa sistem etika itu tidak cukup hanya dikaji dan dikhutbahkan
secara abstrak dan bersifat umum, tetapi diidealkan agar ditulis secara konkrit
dan bersifat operasional. Kesadaran mengenai pentingnya penulisan dalam suatu
bentuk kodifikasi ini dapat dibandingkan dengan perkembangan sejarah yang
pernah dialami oleh sistem hukum pada abad ke-10 di zaman khalifah Harun
Al-Rasyid atau dengan muncul pandangan filsafat Posivisme Auguste Comte pada
abad ke 18 yang turut mempengaruhi pengertian modern tentang hukum positif.
Dalam
perkembangan generasi ketiga ini, mulai diidealkan terbentuknya sistem kode
etika di pelbagai bidang organisasi profesi dan organisasi-organisasi publik.
Bahkan sejak lama sudah banyak di antara organisasi-organisasi kemasyarakatan
ataupun organisasi-organisasi profesi di Indonesia sendiri, seperti Ikatan
Dokter Indonesia, dan lain-lain yang sudah sejak dulu mempunyai naskah Kode
Etik Profesi. Dewasa ini, semua partai politik juga mempunyai kode etik
kepengurusan dan keanggotaan.Pegawai Negeri Sipil juga memiliki kode etika
PNS.Inilah taraf perkembangan positivist tentang sistem etika dalam kehidupan
publik.Namun, hampir semua kode etik yang dikenal dewasa ini, hanya bersifat
proforma.Adanya dan tiadanya tidak ada bedanya.Karena itu, sekarang tiba
saatnya berkembang kesadaran baru bahwa kode etika-kode etika yang sudah ada
itu harus dijalankan dan ditegakkan sebagaimana mestinya.
4.Etika
Fungsional Tertutup
Tahap
perkembangan generasi pengertian etika yang terakhir itulah yang saya namakan
sebagai tahap fungsional, yaitu bahwa infra-struktur kode etika itu disadari
harus difungsikan dan ditegakkan dengan sebaik-baiknya dalam praktik kehidupan
bersama. Untuk itu, diperlukan infra-struktur yang mencakup instrumen aturan
kode etik dan perangkat kelembagaan penegaknya, sehingga sistem etika itu dapat
diharapkan benar-benar bersifat fungsional. Dimana-mana di seluruh dunia, mulai
muncul kesadaran yang luas untuk membangun infra struktur etik ini di
lingkungan jabatan-jabatan publik. Bahkan pada tahun 1996, Sidang Umum PBB
merekomendasikan agar semua negara anggota membangun apa yang dinamakan “ethics
infra-structure in public offices” yang mencakup pengertian kode etik dan
lembaga penegak kode etik.
5.Etika
Fungsional Terbuka
Namun
demikian, menurut Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu 2012-2017 ini,
semua infra-struktur kode etik dan sistem kelembagaan penegakan etika tersebut
di atas dapat dikatakan sama sekali belum dikonstruksikan sebagai suatu sistem
peradilan etika yang bersifat independen dan terbuka sebagaimana layaknya
sistem peradilan modern. Persoalan etika untuk sebagian masih dipandang sebagai
masalah private yang tidak semestinya diperiksa secara terbuka. Karena itu,
semua lembaga atau majelis penegak kode etika selalu bekerja secara tertutup
dan dianggap sebagai mekanisme kerja yang bersifat internal di tiap-tiap
organisasi atau lingkungan jabatan-jabatan publik yang terkait. Keseluruhan
proses penegakan etika itu selama ini memang tidak dan belum didesain sebagai
suatu proses peradilan yang bersifat independen dan terbuka.
Perkembangan
etika bisnis menurut Bertens (2000):
1. Situasi Dahulu Pada awal sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan
filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan
manusia bersama dalam negara dan membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan
kegiatan niaga harus diatur.
2. Masa Peralihan: tahun 1960-an ditandai pemberontakan terhadap kuasa dan
otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi mahasiswa (di ibukota Perancis),
penolakan terhadap establishment (kemapanan). Hal ini memberi perhatian pada
dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu dengan menambahkan mata kuliah baru
dalam kurikulum dengan nama Business and Society. Topik yang paling sering
dibahas adalah corporate social responsibility.
3. Etika Bisnis Lahir di AS: tahun 1970-an sejumlah filsuf mulai terlibat
dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis dan etika bisnis dianggap
sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunia
bisnis di AS.
4. Etika Bisnis Meluas ke Eropa: tahun 1980-an di Eropa Barat, etika
bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira 10 tahun kemudian. Terdapat
forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta sekolah bisnis yang
disebut European Business Ethics Network (EBEN).
5. Etika Bisnis menjadi Fenomena Global: tahun 1990-an tidak terbatas lagi
pada dunia Barat. Etika bisnis sudah dikembangkan di seluruh dunia. Telah
didirikan International Society for Business, Economics, and Ethics (ISBEE)
pada 25-28 Juli 1996 di Tokyo.
Etika Profesional Profesi Akuntan Publik
Setiap profesi yang menyediakan jasanya kepada masyarakat memerlukan
kepercayaan dari masyarakat yang dilayaninya. Kepercayaan masyarakat terhadap
mutu jasa akuntan publik akan menjadi lebih tinggi, jika profesi tersebut
menerapkan standar mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan profesional yang
dilakukan oleh anggota profesinya. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik
merupakan etika profesional bagi akuntan yang berpraktik sebagai akuntan publik
Indonesia. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik bersumber dari Prinsip Etika
yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Dalam konggresnya tahun 1973,
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk pertama kalinya menetapkan kode etik bagi
profesi akuntan Indonesia, kemudian disempurnakan dalam konggres IAI tahun
1981, 1986,1994, dan terakhir tahun 1998. Etika profesional yang dikeluarkan
oleh Ikatan Akuntan Indonesia dalam kongresnya tahun 1998 diberi nama Kode Etik
Ikatan Akuntan Indonesia.
Akuntan publik adalah akuntan yang berpraktik dalam kantor akuntan publik, yang
menyediakan berbagai jenis jasa yang diatur dalam Standar Profesional Akuntan
Publik, yaitu auditing, atestasi, akuntansi dan review, dan jasa konsultansi.
Auditor independen adalah akuntan publik yang melaksanakan penugasan audit atas
laporan keuangan historis yang menyediakan jasa audit atas dasar standar
auditing yang tercantum dalam Standar Profesional Akuntan Publik. Kode Etik
Ikatan Akuntan Indonesia dijabarkan ke dalam Etika Kompartemen Akuntan Publik
untuk mengatur perilaku akuntan yang menjadi anggota IAI yang berpraktik dalam
profesi akuntan publik.
Sumber :
http://dion.staff.gunadarma.ac.id
http://ihdaafdila.blogspot.co.id/2014/01/perkembangan-terakhir-dalam-etika.html